Monday, February 12, 2007

TASAWUF DAN SYARI’AT SETALI MATA UANG YANG TAK TERPISAHKAN

Mukaddimah

Menguraikan seputar terma tasawuf dan sufi memang tak semudah membalikkan kedua belah telapak tangan. Apalagi bila upaya penguraian tersebut harus dituntut dengan ketentuan-ketentuan ilmiah dan rasional. Di samping kendala tersebut, problematika yang sebenarnya sangat riskan untuk dipecahkan adalah komentar dan hasil perabaan seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti atau terjun langsung dalam dunia tasawuf secara aktif dan intensif. Sehingga kesimpulan yang mereka lontarkan adalah perabaan secara gegabah dan serampangan yang mungkin perlu dikaji kembali.

Sebab mendefinisikan dan menja­bar­kan sesuatu bukanlah sebuah garapan yang mudah. Apalagi bila dilanjutkan dengan pemaparan yang keluar dari seorang yang terlihat capable, padahal sebenarnya tidak kompeten dan tidak menguasai permasalahan tersebut. Sungguh hal seperti ini sebuah perabaan dan hipotesa yang membahayakan. Oleh sebab itu, meminjam istilah Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.), titik tolak dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan sesuatu merupakan garapan para spesialis bidang tersebut. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif (ta'rif al-ta'rif), sebuah inti pembahasan yang acapkali tidak disentuh sebagian kalangan dalam menjabarkan sebuah terma tertentu. Akibatnya terma tersebut menjadi kabur dan ambigu; tidak memiliki standar dan batasan yang jelas. Oleh sebab itu, penulis mencoba menyitir istilah Shahib al-Samahah tentang hal tersebut. Beliau menyebutkan, bahwa ta'rif al-ta'rif adalah:

إبراز المعنى المستقر عند أهل الإختصاص

Artinya: Definisi adalah menguak makna sesuatu dengan tepat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang benar-benar memiliki spesialisasi di bidangnya. Fenomena yang lumrah dewasa ini adalah keluarnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang dipoles seolah-olah benar (tahqiq), padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan hipotesa (dugaan) yang tidak menutup kemungkinan akan selalu berubah dan bersifat variable (taqrib). Atau bisa jadi persepsi tersebut hanyalah penggiringan opini yang disertai data-data yang terlihat akurat dan rasional, padahal di balik maklumat tersebut tak jarang ditunggangi misi dan kepentingan tertentu.

Apabila gejala tersebut tidak segera dicarikan solusi (qaul fashl), niscaya maklumat-maklumat tersebut akan selalu membingungkan dan hanya mena­war­kan sebuah pilihan yang kelihatan terkotak-kotak dalam pelbagai standar disiplin ilmu yang terkadang kurang sesuai dengan terma yang dikaji. Atau dengan kata lain hanya tawaran yang terlihat riil dan membumi, tapi realitanya hanyalah idealisme yang senantiasa melangit dan tidak dapat dipertang­gung­jawabkan.

Melacak definisi dan akar-akar tasawuf

Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis mencoba menyajikan beberapa definisi tasawuf dan sufi, yang selama ini penulis jumpai dalam pelbagai refrensi, yang realitanya kurang memuaskan. Sebab meskipun definisi tersebut men­dekati ketepatan dari segi kata, namun terasa janggal dan kurang sesuai dengan apa yang didefinisikan. Hal ini bukan berarti penulis berusaha melakukan tindakan apologetik, defensif dan menafikan pihak lain. Namun penulis berusaha menghindari sikap seseorang yang hanya meneriakkan secara lantang sebagai pencari kebenaran, namun malah ingkar dan lari dari sesuatu yang mengarah mendekati kebenaran tersebut.

Dalam hal ini, setidaknya anda dapat mengamati bahwa para pengamat tasawuf dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki sebuah titik persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah), meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara etimologi maupun terminologi, masih banyak kontroversi yang acapkali terlihat kurang tepat dan janggal.

Secara etimologi, penulis ingin mengemukakan beberapa pendapat yang berusaha mendefinisikan kata sufi. Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia, yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa kata sufi merupakan penisbatan terhadap seseorang yang menge­nakan bulu domba / wol (shuf). Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah (santri-santri di pesan­tren Rasul saw.), dan masih banyak lagi definisi yang mungkin dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, baik klasik maupun kontemporer. Tapi dengan ketiga definisi tersebut, penulis mencoba untuk mendekatinya dengan pendekatan rasional.

Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah pondasi nilai-nilai tasawuf merupakan plagiat peradaban Yunani kuno? Padahal kalau kita mau mengkaji secara jeli dan teliti kata-kata sufi secara tersirat dan tersurat banyak termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak memplagiat peradaban Yunani kuno? Kedua, tatkala sufi dinisbatkan kepada seseorang yang memakai wol, berarti bukankah domba lebih sufi dari seorang sufi? Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap santri-santri Rasul saw. (ahl al-shuffah) yang berdiam diri di pojok-pojok masjid, lantas haruskah sufi kontemporer berperilaku layaknya mereka? Tidakkah Jama'ah Tabligh (JT) lebih cocok jika kita nisbtakan kepada mereka? namun, akankah perilaku sekelompok orang-orang yang suka berdiam diri di masjid pada masa kini, sama persis dengan apa yang ada di era Rasul ?

Bagi penulis sendiri ketiga pendekatan etimologi tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis terlihat janggal bila kita tarik kembali dari akar kata sufi (صوفي). Apabila terdapat kejanggalan dalam etimologi, lantas bagaimana mungkin kita mampu menguaknya dalam dimensi termino­logi? Oleh sebab itu, penulis mencoba mengemukakan sebuah definisi yang mungkin lebih elegan dan rasional. Definisi tersebut penulis kutip dari Shahib al-Samahah, seorang spesialis tasawuf, yang kalimat-kalimat hikmahnya senan­tiasa menghiasi progresifitas majalah al-Tasawuf al-Islami di negeri Kinanah, Mesir.

Dalam pandangan beliau, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disem­buhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa’ dan mushafah. Dari pendekatan etimologi tersebut, dapat ditarik sebuah definisi terminologis yang dipertegas dengan ayat al-Qur`an :

" يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساء العالمين "

Artinya: Sesungguhnya Allah mem­beningkan, mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita semesta alam.

Tiga tahapan seseorang yang dibe­ningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi terminologis:

أولى مراحل الوصول إلى الصفاء الذي ينم عن المصافاة

Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyu­cian selanjutnya (mukasyafah). Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah (sebuah penying­kap­an tabir hubungan antara hamba dengan Tuhan). Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah mendefinisikan men­jadi :

العلاقة الطبيعية الخاصة بين العبد والرب

Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan Tuhannya. Atau bila dikaitkan secara korelatif antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah. Walaupun demikian penulis tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandang penulis, mungkin definisi yang paling memuas­kan adalah definisi versi Sahib al-Samahah. Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak pakar-pakar muslim yang hanya mele­gitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat al-nafs dan menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau menerima pendapat pihak lain yang mencoba membuktikan bahwa termino­logi tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam refrensi utama ajaran Islam.

Lebih lanjut menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan plagiatisme dari peradaban dan kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neo­pla­tonis­me, walaupun secara fair dan obyektif peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain. Namun, tatkala tasawuf diidentikkan dengan perkawinan antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dsb.) dengan substansi ajaran Islam, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan pendiskreditan terhadap kesucian dan keotentikan Din al-Islam. Dan presepsi di atas seolah-olah memandang sebelah mata realita keyakinan dan amaliah yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Apakah memang di dalam ajaran Islam telah banyak terjadi penyimpangan dan pencampuradukan ajaran agama? Dalam pandangan Shahib al-Samahah kehadiran tasawuf di muka bumi sejalan dengan kelahiran manusia. Dalam hal ini, Shahib al-Samahah menyitir sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi :

" إن الله اصطفى آدم و نوحا وآل إبراهيم وآل عمران على العالمين "

Artinya: Sesungguhnya Allah telah mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta alam. Hal inilah yang dialihbahasakan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama Islam. Namun sayangnya pada saat ini telah habis masa berlakunya dan melebur dalam agama Islam yang dibawa oleh Saidina Muhammad saw. Presepsi tersebut bukan berarti Islam tidak meng­akui dan menjunjung tinggi pihak lain dan tidak berarti esensi Islam merupakan pencampuradukan agama dan plagiatis­me ajaran agama lain.

Dengan kata lain, tasawuf meru­pa­kan inti ajaran Islam yang sering diperluas dengan iman, islam dan ihsan. Rangkaian ketiga kata tersebut memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sebatas kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima pilar tersebut harus dimak­simal­kan menjadi bangunan agama yang utuh dan disempurnakan dengan esensi Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Sebalik­nya, walaupun ihsan merupakan tahapan tertinggi dalam beragama, namun status­nya pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam.

Sekelompok orang yang menisbat­kan tasawuf sebagai sebuah nilai-nilai etika yang terangkum dari pelbagai peradaban agama dan budaya, tentu mereka akan menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat substansi ajaran tasawuf. Apabila kita mau mengkaji lebih lanjut kesimpulan tersebut mungkin akan kita temukan sebuah kerancuan. Memang, bila kita perhatikan semua agama meng­a­jarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak semua agama membawa kebenaran sejati. Mungkin sekilas kali­mat tersebut mengindikasikan sebuah klaim kebenaran yang seharusnya tidak terucap dari seorang manusia, sebab kebenaran mutlak adalah hak prerogatif Tuhan. Namun di sisi lain, kita acapkali melupakan bahwa mustahil Tuhan menafikan kesesatan. Artinya kita seba­gai manusia diberikan kebebasan untuk memilih dan memilah kebenaran ter­sebut. Toh, apa yang kita yakini dan kita amalkan belum tentu paling benar di hadapan Tuhan, tapi paling tidak kita harus berusaha untuk menemukan dan meyakini sebuah kebenaran ilahi.

Dalam hal ini, memang kita diwajib­kan untuk menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Namun, bukan berarti kita malah tidak memilih, mencam­puradukkan atau bahkan memproduksi klaim kebenaran baru dengan tanpa memilihnya. Begitu juga dalam beragama (terutama dalam bertasawuf), setiap individu pun diberikan kebebasan untuk memilih jalan yang berbeda-beda. Akan tetapi jalan tersebut tidak dapat kita campur adukkan. Jika memang kekhawatiran tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan banyak pihak yang menggebyah uyah (mengeneralisir) antara tasawuf dan sinkretisme agama.

Di sisi lain, kita juga acapkali me­nemukan kelompok yang berusaha mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi. Pengklasifikasian tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan ilmiah, namun bila kita kaji ulang justru pengklasifikasian tersebut seolah-olah memberikan klaim sepihak terhadap tasawuf orisinil (sesuai dengan syari'at) dan tidak menyimpang dari rel-rel agama. Keber­pi­hakan tersebut seolah-olah dianugerah­kan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang menyimpang divonis sebagai tasawuf falsafi.

Sebenarnya kalau kita kembali pada titik tolak yang menyatakan bahwa tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang sangat erat kaitannya dengan indi­vidu, tentu standar yang kita gunakan untuk menentukan orisinil atau tidaknya sesuatu adalah standar yang lebih obyektif dan komprehensif. Dengan kata lain, apabila kita hanya membatasi standar tersebut dengan esensi iman dan islam saja niscaya kita akan terjebak dalam kebuntuan hitam di atas putih. Tapi bila standar iman, islam dan ihsan kita maksimalkan secara proporsional, tentu kita tidak akan terjebak dengan klasifikasi sepihak tersebut. Sebab pada dasarnya, tasawuf falsafi bukanlah tasawuf sesat, akan tetapi sebuah penga­laman spiritual pribadi, yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang merasakan, sedangkan kita hanya meng­amati dari permukaan saja. Sebagai­mana kearifan Saidina al-Khidlr yang tidak dipa­hami oleh Nabi Musa, memang sepintas Sai­dina al-Khidlr mela­ku­kan tin­da­kan krimi­nal dalam kaca mata ke­aga­maan Nabi Musa. Tapi sebenarnya Sai­dina al-Khidlr mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Nabi Musa. Begitu juga yang dialami oleh Syekh Abu Manshur al-Hallaj ra. yang identik dengan "Ana al-Haq" dan Syekh Ibnu Arabi ra. yang tindakannya selalu dikate­gorikan sebagai Syathahat al-Shufiyyah. Sebab realitanya banyak pihak yang tidak mampu menangkap spirit dasar ajaran Islam melalui bashirah (mata hati) yang akan mengantarkan seseorang untuk mema­hami hakekat sesuatu; tidak hanya tertipu dengan kemasan belaka. Walau­pun realitanya fenomena tersebut sering dimanfaatkan oleh segelintir orang sebagai pengakuan palsu dan pema­haman yang tidak berdasar yang harus kita waspadai.

Dari sini dalam pandangan penulis klasifikasi tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Apabila memang klasifikasi tersebut didasari atas tipologi dan model yang berbeda, mungkin hal itu sah-sah saja. Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai sebuah vonis sesat, yang ditemukan dalam sebuah tipologi tasawuf, berarti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan kepada pelaku, bukan pada substansi ajarannya. Sebab realitanya tasawuf memiliki corak yang beraneka ragam dan akan senantiasa peka ruang dan waktu, tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Tasawuf sebagai manifestasi syari’ah, thariqah dan haqiqah

Berdasarkan paparan di atas, secara umum nilai-nilai ajaran tasawuf memiliki mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam. Namun dalam prespektif yang berbeda, kita sering mendengar ungkapan masyhur yang menyatakan bahwa :

من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق

Fiqh tanpa tasawuf mengakibatkan kefasik­an, sedangkan tasawuf tanpa fiqh mengakibatkan zindiq, benarkah demikian? Menu­rut hemat penulis, proble­matika tersebut sangat berhubungan de­ngan pemaknaan istilah (mafhum mushthalah) itu sendiri. Apabila pemak­naan tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan Shahib al-Samahah (sebagai­mana termaktub di atas bahwa definisi tasawuf adalah mengikuti jejak langkah sufi), tentu ungkapan tersebut perlu dikritisi ulang. Karena pada tataran praktisnya tasawuf dan syari'at, yang terkadang mengalami penyempitan makna menjadi fiqh, tentu keduanya mustahil untuk dipisahkan. Sebab keduanya adalah setali mata uang yang tidak mungkin dicerai-beraikan. Shahib al-Samahah mengilustrasikan; ketika seseorang berada di tanah lapang dan melihat benda di kejauhan tanpa mengetahui hakekat sebenarnya, berarti ia berada dalam martabat (kedudukan) syari'ah / ilm al-yaqin / ibadah. Lalu benda tersebut mendekat dan ia mengetahuinya bahwa sesuatu tersebut adalah manusia berarti ia berada dalam martabat thariqah / ain al-yaqin / ubudiyyah, dan kemudian ia dapat me­mas­tikan bah­wa ma­nusia ter­se­but ada­lah si Fulan berarti ia berada dalam martabat haqiqah / haq al-yaqin / ubudah. Bila seorang muslim hanya berhenti dalam lingkup syari'ah saja, niscaya bangunan keberagamaannya pun hanya akan berupa pondasi berikut pilarnya saja, dan tidak akan berubah menjadi sebuah bangunan Islam yang utuh dan lengkap.

Dan di sisi lain, amaliah dan usaha yang ditempuh oleh sang mutashawwif (pelaku tasawuf) untuk mengikuti sufi sebenarnya adalah sebuah tindakan yang da­pat kita saripatikan dalam tiga hal yang merupakan penyem­purnaan sya­ri’at­ secara lebih spesifik, tanpa menafi­kan amaliah yang lain. Tiga hal tersebut adalah :

a. Dzikir

Agama Islam memiliki lima rukun (sendi). Semua rukun tersebut meru­pakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang muslim. Dibalik kelima rukun tersebut sebenarnya terdapat iba­dah yang independen yang tidak dapat dipisahkan dari kelimanya, sayang­­nya ibadah tersebut acapkali dilu­pa­kan oleh umat Islam sendiri, yaitu dzikir. Shahib al-Samahah meng­ilustrasi­kannya secara apik; Allah swt. meng­anjurkan kita untuk makan dan minum. Walaupun setiap makanan mengandung unsur air, akan tetapi minum juga merupakan sebuah kebu­tuhan yang tidak dapat dipi­sahkan dari kehidupan. Dengan kata lain meski kelima rukun Islam tersebut tidak dapat dipisahkan dari dzikir. Namun di sisi lain, dzikir juga merupakan iba­dah independen yang harus diamal­kan se­cara inten­sif. Penjelasan dan tata cara ber­dzikir akan didapatkan oleh seorang mutashawwif se­suai dengan petunjuk sang sufi (Syekh / Wali Mursyid), bukan hasil kreasi sang mutashawwif.

b. Shalawat atas Rasul saw.

Begitu juga dengan membaca shalawat adalah amaliah yang tak dapat dipi­sah­kan dari keberagamaan seorang muslim. Sebab shalawat merupakan intisari (nafilah) dari syahadah Rasul dan apresiasi cinta seorang muslim atas sosok penghu­bung utama dan pertama (wihdat al-wujud) antara sang hamba dengan Tuhan. Selama ini peran Saidina Muhammad saw. sebagai wihdat al-wujud banyak disalahartikan dengan pan­­the­isme, ittihad atau hulul. Padahal kalau mau kita perhatikan istilah wihdat al-wujud tidak dapat kita lepaskan dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, al-Insan al-kamil dan wihdat al-adyan, serta ketiga-tiganya pun sering diartikan secara tidak tepat. Sebenarnya wihdat al-wujud adalah sebuah terma yang menyatakan bahwa Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang paling awal diciptakan (awwal al-khalq atau al-aql al-awwal) dan dari Nur Saidina Muhammad-lah seluruh makhluk dicip­takan, sebagaimana al-Qur`an men­jelas­kan :

" قل إن كان للرحمن ولد فأنا أول العابدين "

Artinya: Katakanlah (hai Muhammad) jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, niscaya Akulah (Saidina Muhammmad) Hamba yang pertama.

Terjemahan tersebut acapkali di­pahami secara kurang sesuai dengan kalimat aslinya, yaitu; "Katakanlah, jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)". Allah menciptakan seluruh makhluk untuk mengabdi kepada-Nys, sedangkan hamba (pengabdi) pertama yang diciptakan adalah Rasulullah saw., berarti hal ini menunjukkan bahwa Rasul adalah makh­luk yang pertama kali diciptakan, bukan Saidina Muhammad yang akan memu­liakan anak itu, sebagaimana terjemah al-Qur`an yang termaktub di atas.

Hal ini diistilahkan Syekh Ibnu Arabi ra. sebagai al-Haqiqah al-Muham­madiyyah, dan dari Nur Saidina Muham­mad saw. segala makhluk diciptakan. Dan ciptaan pertama tersebut bila diko­relasikan dengan ayat yang termaktub dalam al-Zumar ayat 4, maka makhluk terpilih yang pertama kali tercipta; layak mendapat anugrah sebagai Sufi Perta­ma, bunyi ayat tersebut sebagai berikut:

" لو أراد الله أن يتخذ ولدا لاصطفى مما يخلق ما يشاء "

Artinya: Apabila Allah meghendaki anak, niscaya Dia akan memilih siapa saja yang ia kehendaki. Nah, realitanya Allah tidak memiliki anak, maka Dia memilih Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan.

Bagaimana dengan Nabi Adam? Nabi Adam as. adalah manusia yang pertama, bukan makhluk yang pertama kali diciptakan. Ciptaan pertama inilah yang berupa Nur Saidina Muhammad yang tatkala berwujud menjadi manusia, ia layak mendapat sebutan al-insan al-kamil. Sedangkan agama yang dibawa oleh Rasul adalah titik pusat (wihdah) dari seluruh agama samawi. Jadi paham wihdat al-adyan yang dise­le­weng­kan sebagai pluralisme agama, dengan dalih pencampuradukan ajaran agama atau pengakuan sebuah kebenaran maje­muk mungkin perlu ditinjau ulang.

c. Cinta kepada Ahlul-Bait

Pemahaman tentang ahl al-bait pun sering mengalami penyempitan makna. Banyak yang beranggapan bahwa ahl al-bait adalah dzurriyyah Rasul saja. Padahal sebenarnya ada tiga istilah yang berhu­bungan dengan ahl al-bait, yaitu dzur­riyyah, itrah, ahl dan al. Dzurriyyah berarti keturunan Nabi se­cara biologis dan belum tentu dika­tegorikan sebagai ahl al-bait. Itrah adalah keturunan biologis yang statusnya berada di bawah ahl al-bait. Sedangkan ahl al-bait sendiri adalah seseorang yang mewarisi samudera ilmu dan etika Rasul. Adapun al al-bait bersifat lebih umum, meliputi dzurriyyah atau tidak, akan tetapi juga mewarisi dan layak mendapat predi­kat sebagai ahl al-bait, seperti Sai­dina Salman al-Farisi, Saidina Bilal, dll. Jadi cinta kepada dzurriyyah belum tentu dikate­gorikan sebagai cinta kepada ahl al-bait. Sedangkan cinta kepada al al-bait dan ahl al-bait adalah sebuah perasaan cinta yang ditujukan kepada individu yang sama, namun dengan istilah yang berbe­da. Seba­gai­mana yang diteladankan oleh imam Syafi'i ra. :

لو كان حب آل محمد بدعة # فإني بتلك العمر مكتف

Begitu juga yang diteladankan seorang sufi besar Syekh Ahmad al-Rifa'i ra. (Shahib al-Thariqah al-Rifa'iyyah), dengan nada yang selaras dengan Imam Syafi'i :

إذا كان رفضا حب آل محمد # فليعلم الثقلان أني رافض

Nah, ketiga hal tersebut merupakan esensi ajaran tasawuf. Walaupun demi­kian, anggapan yang menyatakan bahwa seorang mutashawwif diidentikkan dengan orang ­kere,­ pemalas, penghuni pemukiman kumuh, kumal serta hanya terbatas pada aktivis ritual keagamaan dengan gaya dan pakaian khas semata, seolah-olah benar dalam prespektif seba­gian kalangan. Padahal bisa jadi merekalah golongan yang mengaku diri­nya mutashawif, yang disebut oleh Shahib al-Samahah sebagai mutashawshif (mutashawif gadungan).

Peran tarekat dan syekh dalam institusi tasawuf

Apabila memang ketiga substansi ajaran di atas diidentikkan dengan tasa­wuf, lantas kenapa kita temukan pelbagai macam aliran tarekat sebagai sebuah institusi tasawuf. Menurut hemat penulis, justru hal tersebut semakin memperindah agama, sebab hal ini menunjukkan bahwa pintu agama tidak hanya terbuka dari satu sisi, melainkan terbuka melalui pelbagai dimensi. Serta bila kita cermati ketiga substansi ajaran tersebut tidak dapat dile­pas­kan dari nuansa sebuah penge­ja­wantahan kecin­taan. Nah, akan­kah kita menutup pintu-pintu kecintaan yang sebe­nar­nya sangat luas?

Di sisi lain, sebuah tarekat juga mem­berikan spirit kepada sang mutashawif untuk mengaplikasikan ketiga hal terse­but, serta mengarahkannya sesuai dengan ketentuan agama. Seorang muslim yang bertasawuf memang tidak diha­ruskan untuk memasuki sebuah tarekat, namun dikarenakan tasawuf adalah pengalaman spiritual, berarti secara tidak langsung untuk mengalami pengalaman yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul perlu bimbangan seorang guru spiritual (Syekh).

Jika guru spiritual para sahabat adalah Rasul, dan guru spiritual tabi'in adalah sahabat, berarti guru spiritual seorang mutashawif adalah ulama’ yang secara silsilah sanad dan wahbi (pemberian Tuhan) mewarisi ilmu mereka. Dan bukan sembarang ulama’ yang telah kaprah menjadi gelar umum di tengah masyarakat muslim. Al-ulama’ waratsat al-anbiya’, para ulama’, sejatinya adalah mereka para pewaris para nabi, yang tidak dapat ditempuh dengan jalur formal dan melalui silsilah keturunan, melainkan Allah swt. jualah yang berhak memi­lih­nya. Dikarenakan, bila kriteria status ula­ma’­ (pewaris nabi) tersebut dapat ditem­puh dengan pendidikan formal, seperti al-Azhar misalnya; berarti para orientalis ya­­ng­ memiliki kajian mendalam dan pisau analisis tajam terhadap agama dengan pelbagai macam pendekatan ilmi­ah mungkin layak disebut ulama’­ (pewaris nabi)? Dan jika memang demi­kian, tentu akan semakin banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai pewaris para nabi, padahal ilmunya hanya terbatas ilmu lahiriah dan terka­dang keabsahannya pun masih diperta­nyakan. Jadi untuk mencari dan menemu­kan ulama' pewaris para nabi adalah tidak semudah menggenggam kelima jari, begitu juga dengan menjadi seorang syekh­ yang dianugerahi Allah sebagai pewa­­ris Nabi adalah bukan atas usaha manusia, namun hanya hak prerogatif Allah.

Sedangkan ta'at kepada Syekh yang notabene orang-orang pilihan tersebut, tidak menafikan ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Hubungan antara sang Syekh pilihan dengan murid tersebut dapat kita perhatikan dalam kisah perjalanan antara Nabi Musa sebagai seorang murid dan Saidina al-Khidlr sebagai seorang Syekh. Walaupun Nabi Musa adalah salah satu rasul ulul-azmi, namun ternyata ia diha­ruskan untuk menjadi murid seorang yang dianugerahi Allah samudra hikmah dan bukan nabi, memang ternyata penge­­­tahuan manusia sangat terbatas, sedangkan Lautan Ilmu Allah luas dan tete­san­nya pun dianugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Dari ketiga esensi ajaran tasawuf di atas, adakah substansi ajaran tasawuf yang bertentangan dengan syari'at? apa­bila kita menemukan ketimpangan terse­but, berarti hal itu muncul dari sang pelaku yang sengaja untuk menyimpang. Adapun kedudukan Syekh yang agak terlihat aneh bagi sebagian kalangan, sebenarnya perlu dipahami bahwa hal ini bukan berarti pengkultusan atau fanatik, melainkan hanya sebuah refleksi perasaan cinta seseorang kepada manusia pilihan yang menjadi pewaris Nabi. Lantas apa­kah memang menjadi sufi (orang pilihan) hanyalah hak prerogatif Allah? Hal ini dapat kita perhatikan dari banyaknya manu­sia yang bertarekat atau bahkan berta­sawuf, tetapi mereka tidak pernah menjadi sufi.

Penutup

Walhasil, dinamika bertasawuf meru­pa­kan sebuah pengalaman spiritual yang tidak akan pernah dicapai seseorang dengan pengayaan referensi. Akan tetapi akan anda rasakan bila anda mencicipi dan merasakannya, sebagaimana nikmat dan lezatnya bersenggama hanya dirasa­kan oleh seseorang yang telah mera­sakannya.

Dan menjadi seorang Sufi bukanlah tujuan utama dari tasawuf, tapi dzikir, shalawat dan cinta ahl al-bait merupakan upaya yang harus ditempuh oleh sese­orang yang ingin bertasawuf, melalui bimbi­ngan dan petunjuk seorang “Wali Mursyid” (Syekh) yang benar-benar memi­liki ilmu lahir batin layaknya pewa­ris para nabi dan rasul, bukan hanya sekedar ‘topeng’ dan pengakuan belaka.

No comments: