Mukaddimah
Menguraikan seputar terma tasawuf dan sufi memang tak semudah membalikkan kedua belah telapak tangan. Apalagi bila upaya penguraian tersebut harus dituntut dengan ketentuan-ketentuan ilmiah dan rasional. Di samping kendala tersebut, problematika yang sebenarnya sangat riskan untuk dipecahkan adalah komentar dan hasil perabaan seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti atau terjun langsung dalam dunia tasawuf secara aktif dan intensif. Sehingga kesimpulan yang mereka lontarkan adalah perabaan secara gegabah dan serampangan yang mungkin perlu dikaji kembali.
Sebab mendefinisikan dan menjabarkan sesuatu bukanlah sebuah garapan yang mudah. Apalagi bila dilanjutkan dengan pemaparan yang keluar dari seorang yang terlihat capable, padahal sebenarnya tidak kompeten dan tidak menguasai permasalahan tersebut. Sungguh hal seperti ini sebuah perabaan dan hipotesa yang membahayakan. Oleh sebab itu, meminjam istilah Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.), titik tolak dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan sesuatu merupakan garapan para spesialis bidang tersebut. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif (ta'rif al-ta'rif), sebuah inti pembahasan yang acapkali tidak disentuh sebagian kalangan dalam menjabarkan sebuah terma tertentu. Akibatnya terma tersebut menjadi kabur dan ambigu; tidak memiliki standar dan batasan yang jelas. Oleh sebab itu, penulis mencoba menyitir istilah Shahib al-Samahah tentang hal tersebut. Beliau menyebutkan, bahwa ta'rif al-ta'rif adalah:
إبراز المعنى المستقر عند أهل الإختصاص
Artinya: Definisi adalah menguak makna sesuatu dengan tepat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang benar-benar memiliki spesialisasi di bidangnya. Fenomena yang lumrah dewasa ini adalah keluarnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang dipoles seolah-olah benar (tahqiq), padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan hipotesa (dugaan) yang tidak menutup kemungkinan akan selalu berubah dan bersifat variable (taqrib). Atau bisa jadi persepsi tersebut hanyalah penggiringan opini yang disertai data-data yang terlihat akurat dan rasional, padahal di balik maklumat tersebut tak jarang ditunggangi misi dan kepentingan tertentu.
Apabila gejala tersebut tidak segera dicarikan solusi (qaul fashl), niscaya maklumat-maklumat tersebut akan selalu membingungkan dan hanya menawarkan sebuah pilihan yang kelihatan terkotak-kotak dalam pelbagai standar disiplin ilmu yang terkadang kurang sesuai dengan terma yang dikaji. Atau dengan kata lain hanya tawaran yang terlihat riil dan membumi, tapi realitanya hanyalah idealisme yang senantiasa melangit dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Melacak definisi dan akar-akar tasawuf
Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis mencoba menyajikan beberapa definisi tasawuf dan sufi, yang selama ini penulis jumpai dalam pelbagai refrensi, yang realitanya kurang memuaskan. Sebab meskipun definisi tersebut mendekati ketepatan dari segi kata, namun terasa janggal dan kurang sesuai dengan apa yang didefinisikan. Hal ini bukan berarti penulis berusaha melakukan tindakan apologetik, defensif dan menafikan pihak lain. Namun penulis berusaha menghindari sikap seseorang yang hanya meneriakkan secara lantang sebagai pencari kebenaran, namun malah ingkar dan lari dari sesuatu yang mengarah mendekati kebenaran tersebut.
Dalam hal ini, setidaknya anda dapat mengamati bahwa para pengamat tasawuf dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki sebuah titik persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah), meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara etimologi maupun terminologi, masih banyak kontroversi yang acapkali terlihat kurang tepat dan janggal.
Secara etimologi, penulis ingin mengemukakan beberapa pendapat yang berusaha mendefinisikan kata sufi. Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia, yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa kata sufi merupakan penisbatan terhadap seseorang yang mengenakan bulu domba / wol (shuf). Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah (santri-santri di pesantren Rasul saw.), dan masih banyak lagi definisi yang mungkin dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, baik klasik maupun kontemporer. Tapi dengan ketiga definisi tersebut, penulis mencoba untuk mendekatinya dengan pendekatan rasional.
Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah pondasi nilai-nilai tasawuf merupakan plagiat peradaban Yunani kuno? Padahal kalau kita mau mengkaji secara jeli dan teliti kata-kata sufi secara tersirat dan tersurat banyak termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak memplagiat peradaban Yunani kuno? Kedua, tatkala sufi dinisbatkan kepada seseorang yang memakai wol, berarti bukankah domba lebih sufi dari seorang sufi? Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap santri-santri Rasul saw. (ahl al-shuffah) yang berdiam diri di pojok-pojok masjid, lantas haruskah sufi kontemporer berperilaku layaknya mereka? Tidakkah Jama'ah Tabligh (JT) lebih cocok jika kita nisbtakan kepada mereka? namun, akankah perilaku sekelompok orang-orang yang suka berdiam diri di masjid pada masa kini, sama persis dengan apa yang ada di era Rasul ?
Bagi penulis sendiri ketiga pendekatan etimologi tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis terlihat janggal bila kita tarik kembali dari akar kata sufi (صوفي). Apabila terdapat kejanggalan dalam etimologi, lantas bagaimana mungkin kita mampu menguaknya dalam dimensi terminologi? Oleh sebab itu, penulis mencoba mengemukakan sebuah definisi yang mungkin lebih elegan dan rasional. Definisi tersebut penulis kutip dari Shahib al-Samahah, seorang spesialis tasawuf, yang kalimat-kalimat hikmahnya senantiasa menghiasi progresifitas majalah al-Tasawuf al-Islami di negeri Kinanah, Mesir.
Dalam pandangan beliau, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disembuhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa’ dan mushafah. Dari pendekatan etimologi tersebut, dapat ditarik sebuah definisi terminologis yang dipertegas dengan ayat al-Qur`an :
" يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساء العالمين "
Artinya: Sesungguhnya Allah membeningkan, mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita semesta alam.
Tiga tahapan seseorang yang dibeningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi terminologis:
أولى مراحل الوصول إلى الصفاء الذي ينم عن المصافاة
Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyucian selanjutnya (mukasyafah). Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah (sebuah penyingkapan tabir hubungan antara hamba dengan Tuhan). Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah mendefinisikan menjadi :
العلاقة الطبيعية الخاصة بين العبد والرب
Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan Tuhannya. Atau bila dikaitkan secara korelatif antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah. Walaupun demikian penulis tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandang penulis, mungkin definisi yang paling memuaskan adalah definisi versi Sahib al-Samahah. Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak pakar-pakar muslim yang hanya melegitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat al-nafs dan menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau menerima pendapat pihak lain yang mencoba membuktikan bahwa terminologi tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam refrensi utama ajaran Islam.
Lebih lanjut menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan plagiatisme dari peradaban dan kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neoplatonisme, walaupun secara fair dan obyektif peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain. Namun, tatkala tasawuf diidentikkan dengan perkawinan antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dsb.) dengan substansi ajaran Islam, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan pendiskreditan terhadap kesucian dan keotentikan Din al-Islam. Dan presepsi di atas seolah-olah memandang sebelah mata realita keyakinan dan amaliah yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Apakah memang di dalam ajaran Islam telah banyak terjadi penyimpangan dan pencampuradukan ajaran agama? Dalam pandangan Shahib al-Samahah kehadiran tasawuf di muka bumi sejalan dengan kelahiran manusia. Dalam hal ini, Shahib al-Samahah menyitir sebuah ayat al-Qur`an yang berbunyi :
" إن الله اصطفى آدم و نوحا وآل إبراهيم وآل عمران على العالمين "
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta alam. Hal inilah yang dialihbahasakan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama Islam. Namun sayangnya pada saat ini telah habis masa berlakunya dan melebur dalam agama Islam yang dibawa oleh Saidina Muhammad saw. Presepsi tersebut bukan berarti Islam tidak mengakui dan menjunjung tinggi pihak lain dan tidak berarti esensi Islam merupakan pencampuradukan agama dan plagiatisme ajaran agama lain.
Dengan kata lain, tasawuf merupakan inti ajaran Islam yang sering diperluas dengan iman, islam dan ihsan. Rangkaian ketiga kata tersebut memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sebatas kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima pilar tersebut harus dimaksimalkan menjadi bangunan agama yang utuh dan disempurnakan dengan esensi Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Sebaliknya, walaupun ihsan merupakan tahapan tertinggi dalam beragama, namun statusnya pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam.
Sekelompok orang yang menisbatkan tasawuf sebagai sebuah nilai-nilai etika yang terangkum dari pelbagai peradaban agama dan budaya, tentu mereka akan menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat substansi ajaran tasawuf. Apabila kita mau mengkaji lebih lanjut kesimpulan tersebut mungkin akan kita temukan sebuah kerancuan. Memang, bila kita perhatikan semua agama mengajarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak semua agama membawa kebenaran sejati. Mungkin sekilas kalimat tersebut mengindikasikan sebuah klaim kebenaran yang seharusnya tidak terucap dari seorang manusia, sebab kebenaran mutlak adalah hak prerogatif Tuhan. Namun di sisi lain, kita acapkali melupakan bahwa mustahil Tuhan menafikan kesesatan. Artinya kita sebagai manusia diberikan kebebasan untuk memilih dan memilah kebenaran tersebut. Toh, apa yang kita yakini dan kita amalkan belum tentu paling benar di hadapan Tuhan, tapi paling tidak kita harus berusaha untuk menemukan dan meyakini sebuah kebenaran ilahi.
Dalam hal ini, memang kita diwajibkan untuk menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Namun, bukan berarti kita malah tidak memilih, mencampuradukkan atau bahkan memproduksi klaim kebenaran baru dengan tanpa memilihnya. Begitu juga dalam beragama (terutama dalam bertasawuf), setiap individu pun diberikan kebebasan untuk memilih jalan yang berbeda-beda. Akan tetapi jalan tersebut tidak dapat kita campur adukkan. Jika memang kekhawatiran tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan banyak pihak yang menggebyah uyah (mengeneralisir) antara tasawuf dan sinkretisme agama.
Di sisi lain, kita juga acapkali menemukan kelompok yang berusaha mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi. Pengklasifikasian tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan ilmiah, namun bila kita kaji ulang justru pengklasifikasian tersebut seolah-olah memberikan klaim sepihak terhadap tasawuf orisinil (sesuai dengan syari'at) dan tidak menyimpang dari rel-rel agama. Keberpihakan tersebut seolah-olah dianugerahkan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang menyimpang divonis sebagai tasawuf falsafi.
Dari sini dalam pandangan penulis klasifikasi tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Apabila memang klasifikasi tersebut didasari atas tipologi dan model yang berbeda, mungkin hal itu sah-sah saja. Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai sebuah vonis sesat, yang ditemukan dalam sebuah tipologi tasawuf, berarti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan kepada pelaku, bukan pada substansi ajarannya. Sebab realitanya tasawuf memiliki corak yang beraneka ragam dan akan senantiasa peka ruang dan waktu, tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Tasawuf sebagai manifestasi syari’ah, thariqah dan haqiqah
Berdasarkan paparan di atas, secara umum nilai-nilai ajaran tasawuf memiliki mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam. Namun dalam prespektif yang berbeda, kita sering mendengar ungkapan masyhur yang menyatakan bahwa :
من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق
Fiqh tanpa tasawuf mengakibatkan kefasikan, sedangkan tasawuf tanpa fiqh mengakibatkan zindiq, benarkah demikian? Menurut hemat penulis, problematika tersebut sangat berhubungan dengan pemaknaan istilah (mafhum mushthalah) itu sendiri. Apabila pemaknaan tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan Shahib al-Samahah (sebagaimana termaktub di atas bahwa definisi tasawuf adalah mengikuti jejak langkah sufi), tentu ungkapan tersebut perlu dikritisi ulang. Karena pada tataran praktisnya tasawuf dan syari'at, yang terkadang mengalami penyempitan makna menjadi fiqh, tentu keduanya mustahil untuk dipisahkan. Sebab keduanya adalah setali mata uang yang tidak mungkin dicerai-beraikan. Shahib al-Samahah mengilustrasikan; ketika seseorang berada di tanah lapang dan melihat benda di kejauhan tanpa mengetahui hakekat sebenarnya, berarti ia berada dalam martabat (kedudukan) syari'ah / ilm al-yaqin / ibadah. Lalu benda tersebut mendekat dan ia mengetahuinya bahwa sesuatu tersebut adalah manusia berarti ia berada dalam martabat thariqah / ain al-yaqin / ubudiyyah, dan kemudian ia dapat memastikan bahwa manusia tersebut adalah si Fulan berarti ia berada dalam martabat haqiqah / haq al-yaqin / ubudah. Bila seorang muslim hanya berhenti dalam lingkup syari'ah saja, niscaya bangunan keberagamaannya pun hanya akan berupa pondasi berikut pilarnya saja, dan tidak akan berubah menjadi sebuah bangunan Islam yang utuh dan lengkap.
Dan di sisi lain, amaliah dan usaha yang ditempuh oleh sang mutashawwif (pelaku tasawuf) untuk mengikuti sufi sebenarnya adalah sebuah tindakan yang dapat kita saripatikan dalam tiga hal yang merupakan penyempurnaan syari’at secara lebih spesifik, tanpa menafikan amaliah yang lain. Tiga hal tersebut adalah :
a. Dzikir
Agama Islam memiliki lima rukun (sendi). Semua rukun tersebut merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang muslim. Dibalik kelima rukun tersebut sebenarnya terdapat ibadah yang independen yang tidak dapat dipisahkan dari kelimanya, sayangnya ibadah tersebut acapkali dilupakan oleh umat Islam sendiri, yaitu dzikir. Shahib al-Samahah mengilustrasikannya secara apik; Allah swt. menganjurkan kita untuk makan dan minum. Walaupun setiap makanan mengandung unsur air, akan tetapi minum juga merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Dengan kata lain meski kelima rukun Islam tersebut tidak dapat dipisahkan dari dzikir. Namun di sisi lain, dzikir juga merupakan ibadah independen yang harus diamalkan secara intensif. Penjelasan dan tata cara berdzikir akan didapatkan oleh seorang mutashawwif sesuai dengan petunjuk sang sufi (Syekh / Wali Mursyid), bukan hasil kreasi sang mutashawwif.
b. Shalawat atas Rasul saw.
Begitu juga dengan membaca shalawat adalah amaliah yang tak dapat dipisahkan dari keberagamaan seorang muslim. Sebab shalawat merupakan intisari (nafilah) dari syahadah Rasul dan apresiasi cinta seorang muslim atas sosok penghubung utama dan pertama (wihdat al-wujud) antara sang hamba dengan Tuhan. Selama ini peran Saidina Muhammad saw. sebagai wihdat al-wujud banyak disalahartikan dengan pantheisme, ittihad atau hulul. Padahal kalau mau kita perhatikan istilah wihdat al-wujud tidak dapat kita lepaskan dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, al-Insan al-kamil dan wihdat al-adyan, serta ketiga-tiganya pun sering diartikan secara tidak tepat. Sebenarnya wihdat al-wujud adalah sebuah terma yang menyatakan bahwa Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang paling awal diciptakan (awwal al-khalq atau al-aql al-awwal) dan dari Nur Saidina Muhammad-lah seluruh makhluk diciptakan, sebagaimana al-Qur`an menjelaskan :
" قل إن كان للرحمن ولد فأنا أول العابدين "
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad) jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, niscaya Akulah (Saidina Muhammmad) Hamba yang pertama.
Terjemahan tersebut acapkali dipahami secara kurang sesuai dengan kalimat aslinya, yaitu; "Katakanlah, jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)". Allah menciptakan seluruh makhluk untuk mengabdi kepada-Nys, sedangkan hamba (pengabdi) pertama yang diciptakan adalah Rasulullah saw., berarti hal ini menunjukkan bahwa Rasul adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, bukan Saidina Muhammad yang akan memuliakan anak itu, sebagaimana terjemah al-Qur`an yang termaktub di atas.
" لو أراد الله أن يتخذ ولدا لاصطفى مما يخلق ما يشاء "
Artinya: Apabila Allah meghendaki anak, niscaya Dia akan memilih siapa saja yang ia kehendaki. Nah, realitanya Allah tidak memiliki anak, maka Dia memilih Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan.
Bagaimana dengan Nabi Adam? Nabi Adam as. adalah manusia yang pertama, bukan makhluk yang pertama kali diciptakan. Ciptaan pertama inilah yang berupa Nur Saidina Muhammad yang tatkala berwujud menjadi manusia, ia layak mendapat sebutan al-insan al-kamil. Sedangkan agama yang dibawa oleh Rasul adalah titik pusat (wihdah) dari seluruh agama samawi. Jadi paham wihdat al-adyan yang diselewengkan sebagai pluralisme agama, dengan dalih pencampuradukan ajaran agama atau pengakuan sebuah kebenaran majemuk mungkin perlu ditinjau ulang.
Pemahaman tentang ahl al-bait pun sering mengalami penyempitan makna. Banyak yang beranggapan bahwa ahl al-bait adalah dzurriyyah Rasul saja. Padahal sebenarnya ada tiga istilah yang berhubungan dengan ahl al-bait, yaitu dzurriyyah, itrah, ahl dan al. Dzurriyyah berarti keturunan Nabi secara biologis dan belum tentu dikategorikan sebagai ahl al-bait. Itrah adalah keturunan biologis yang statusnya berada di bawah ahl al-bait. Sedangkan ahl al-bait sendiri adalah seseorang yang mewarisi samudera ilmu dan etika Rasul. Adapun al al-bait bersifat lebih umum, meliputi dzurriyyah atau tidak, akan tetapi juga mewarisi dan layak mendapat predikat sebagai ahl al-bait, seperti Saidina Salman al-Farisi, Saidina Bilal, dll. Jadi cinta kepada dzurriyyah belum tentu dikategorikan sebagai cinta kepada ahl al-bait. Sedangkan cinta kepada al al-bait dan ahl al-bait adalah sebuah perasaan cinta yang ditujukan kepada individu yang sama, namun dengan istilah yang berbeda. Sebagaimana yang diteladankan oleh imam Syafi'i ra. :
لو كان حب آل محمد بدعة # فإني بتلك العمر مكتف
Begitu juga yang diteladankan seorang sufi besar Syekh Ahmad al-Rifa'i ra. (Shahib al-Thariqah al-Rifa'iyyah), dengan nada yang selaras dengan Imam Syafi'i :
إذا كان رفضا حب آل محمد # فليعلم الثقلان أني رافض
Nah, ketiga hal tersebut merupakan esensi ajaran tasawuf. Walaupun demikian, anggapan yang menyatakan bahwa seorang mutashawwif diidentikkan dengan orang kere, pemalas, penghuni pemukiman kumuh, kumal serta hanya terbatas pada aktivis ritual keagamaan dengan gaya dan pakaian khas semata, seolah-olah benar dalam prespektif sebagian kalangan. Padahal bisa jadi merekalah golongan yang mengaku dirinya mutashawif, yang disebut oleh Shahib al-Samahah sebagai mutashawshif (mutashawif gadungan).
Apabila memang ketiga substansi ajaran di atas diidentikkan dengan tasawuf, lantas kenapa kita temukan pelbagai macam aliran tarekat sebagai sebuah institusi tasawuf. Menurut hemat penulis, justru hal tersebut semakin memperindah agama, sebab hal ini menunjukkan bahwa pintu agama tidak hanya terbuka dari satu sisi, melainkan terbuka melalui pelbagai dimensi. Serta bila kita cermati ketiga substansi ajaran tersebut tidak dapat dilepaskan dari nuansa sebuah pengejawantahan kecintaan. Nah, akankah kita menutup pintu-pintu kecintaan yang sebenarnya sangat luas?
Di sisi lain, sebuah tarekat juga memberikan spirit kepada sang mutashawif untuk mengaplikasikan ketiga hal tersebut, serta mengarahkannya sesuai dengan ketentuan agama. Seorang muslim yang bertasawuf memang tidak diharuskan untuk memasuki sebuah tarekat, namun dikarenakan tasawuf adalah pengalaman spiritual, berarti secara tidak langsung untuk mengalami pengalaman yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul perlu bimbangan seorang guru spiritual (Syekh).
Jika guru spiritual para sahabat adalah Rasul, dan guru spiritual tabi'in adalah sahabat, berarti guru spiritual seorang mutashawif adalah ulama’ yang secara silsilah sanad dan wahbi (pemberian Tuhan) mewarisi ilmu mereka. Dan bukan sembarang ulama’ yang telah kaprah menjadi gelar umum di tengah masyarakat muslim. Al-ulama’ waratsat al-anbiya’, para ulama’, sejatinya adalah mereka para pewaris para nabi, yang tidak dapat ditempuh dengan jalur formal dan melalui silsilah keturunan, melainkan Allah swt. jualah yang berhak memilihnya. Dikarenakan, bila kriteria status ulama’ (pewaris nabi) tersebut dapat ditempuh dengan pendidikan formal, seperti al-Azhar misalnya; berarti para orientalis yang memiliki kajian mendalam dan pisau analisis tajam terhadap agama dengan pelbagai macam pendekatan ilmiah mungkin layak disebut ulama’ (pewaris nabi)? Dan jika memang demikian, tentu akan semakin banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai pewaris para nabi, padahal ilmunya hanya terbatas ilmu lahiriah dan terkadang keabsahannya pun masih dipertanyakan. Jadi untuk mencari dan menemukan ulama' pewaris para nabi adalah tidak semudah menggenggam kelima jari, begitu juga dengan menjadi seorang syekh yang dianugerahi Allah sebagai pewaris Nabi adalah bukan atas usaha manusia, namun hanya hak prerogatif Allah.
Sedangkan ta'at kepada Syekh yang notabene orang-orang pilihan tersebut, tidak menafikan ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Hubungan antara sang Syekh pilihan dengan murid tersebut dapat kita perhatikan dalam kisah perjalanan antara Nabi Musa sebagai seorang murid dan Saidina al-Khidlr sebagai seorang Syekh. Walaupun Nabi Musa adalah salah satu rasul ulul-azmi, namun ternyata ia diharuskan untuk menjadi murid seorang yang dianugerahi Allah samudra hikmah dan bukan nabi, memang ternyata pengetahuan manusia sangat terbatas, sedangkan Lautan Ilmu Allah luas dan tetesannya pun dianugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Dari ketiga esensi ajaran tasawuf di atas, adakah substansi ajaran tasawuf yang bertentangan dengan syari'at? apabila kita menemukan ketimpangan tersebut, berarti hal itu muncul dari sang pelaku yang sengaja untuk menyimpang. Adapun kedudukan Syekh yang agak terlihat aneh bagi sebagian kalangan, sebenarnya perlu dipahami bahwa hal ini bukan berarti pengkultusan atau fanatik, melainkan hanya sebuah refleksi perasaan cinta seseorang kepada manusia pilihan yang menjadi pewaris Nabi. Lantas apakah memang menjadi sufi (orang pilihan) hanyalah hak prerogatif Allah? Hal ini dapat kita perhatikan dari banyaknya manusia yang bertarekat atau bahkan bertasawuf, tetapi mereka tidak pernah menjadi sufi.
Penutup
Walhasil, dinamika bertasawuf merupakan sebuah pengalaman spiritual yang tidak akan pernah dicapai seseorang dengan pengayaan referensi. Akan tetapi akan anda rasakan bila anda mencicipi dan merasakannya, sebagaimana nikmat dan lezatnya bersenggama hanya dirasakan oleh seseorang yang telah merasakannya.
Dan menjadi seorang Sufi bukanlah tujuan utama dari tasawuf, tapi dzikir, shalawat dan cinta ahl al-bait merupakan upaya yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin bertasawuf, melalui bimbingan dan petunjuk seorang “Wali Mursyid” (Syekh) yang benar-benar memiliki ilmu lahir batin layaknya pewaris para nabi dan rasul, bukan hanya sekedar ‘topeng’ dan pengakuan belaka.
No comments:
Post a Comment