Saturday, February 10, 2007

REFORMULASI KONSEP TEOLOGI

Membincang tentang eksistensi Tuhan berarti mencoba menerobos segudang permasalahan. Usaha membedah keberadaan-Nya memerlukan penalaran panjang yang menjemukan. Coba anda bayangkan, pada era post modern yang serba instant, kita masih dituntut untuk merunut kepelikan tersebut. Dan ironinya perangkat yang kita gunakan adalah pisau analisis klasik, yang terkadang kurang menyentuh neutral point (Nuqthah muhayidah). Artinya: memang pintu kebebasan individu untuk mendeskripsikan-Nya terbuka, namun mengkontaminasi, mengingkari dan menafikan-Nya merupakan akibat fatal yang akan merugikan diri kita sendiri.

Keberadaan-Nya yang maha abstrak (Ghaib muthlaq) susah untuk didekati, hanya dorongan keimanan sajalah yang mungkin dengan mudah dan otomatis mampu mengantarkan seseorang untuk mempercayai-Nya. Ungkapan inilah yang sebenarnya sering kita lantunkan "Allahu Akbar" bukan berarti Allah maha besar dari segala sesuatu "Allahu akbar min kulli syai" secara ukuran (hajman), tapi Allah maha besar untuk diketahui "Allahu akbar min an yu'raf". Namun perasaan yang menyentak seseorang untuk memaksakan diri membayangkan-Nya kadang menimbulkan problematika tersendiri. Sehingga bentuk Tuhan-pun harus dipaksakan keberadaannya, sebagaimana pendapat golongan Islam puritan yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, tapi tangan tersebut tidak seperti tangan manusia. Ironinya menanyakan keberadaan tangan tersebut diklaim sebagai bid'ah sayyi'ah. Sebuah penalaran teologis yang tidak memuaskan. Padahal kepemilikan tersebut merupakan "Nisbah milkiyyah" (penisbatan kepemilikan) yang bisa dinisbatkan kepada Tuhan. Bukan "Nisbah juz'iyyah" (penisbatan bahwa Allah tersusun dari pelbagai unsur) yang tentu saja menodai kesucian-Nya.

Di sisi lain, nama Tuhan sering tidak diketahui secara tepat. "Allah", begitulah sebagai seorang muslim kita menyebutnya. Namun perlu diingat, nama tersebut bukanlah nama zat Tuhan (Ism al-dzat), melainkan nama sifat ketuhanan (Ism sifat al-uluhiyyah).

Sifat-sifat yang melekat kepada-Nya dalam asma' al-husna dapat dikategorikan menjadi dua; Jalal (maha perkasa) dan Jamal (maha indah dan lembut). Hal ini dapat kita telisik dalam seluruh asma' al-husna, terkecuali al-Rahman dan Allah. Al-Muzil misalnya, dikategorikan sebagai jalal dan al-Mu’iz dikategorikan sebagai jamal. Kesatuan antara sifat jalal dan jamal adalah Kamal; yang melekat pada al-Rahman dan Allah; yang menjadi ra’is seluruh sifat-sifat tersebut. Mengkaji perbedaan antara sifat dan dzat tersebutlah yang mendorong seseorang untuk mendapatkan definisi yang tepat dan elegan seputar tauhid. Bukan hanya jargon tauhid yang terbatas dalam uluhiah dan rububiah saja.

Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.) mendefinisikan tauhid secara komprehensif : "Tanzih al-Ahad an al-adad wa Tanzih al-Wahid an al-ta'addud" (membersihkan keesaan dzat dari bilangan, dan membersihkan sifat yang tunggal dari keterbilangan). Artinya : Ahadiyyah (keesaan) yang ada pada Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya dan Wahidiyyah (sifat tunggal)-Nya pun demikian. Dengan kata lain, setiap manusia memiliki ahadiah yang berupa sidik jari pada dirinya, tapi ahadiah tersebut tidak seperti ahadiah Allah yang mutlak. Seluruh sifat yang melekat kepada-Nya pun boleh dilekatkan pada manusia, terkecuali Allah dan al-Rahman, namun sifat-sifat Tuhan bersifat absolut dan tunggal.

Mungkin terbersit dalam benak kita, benarkah demikian? Shahib al-Samahah menggagas konsep Muqtadlayat al-Uluhiyah (Kriteria Tuhan) yang akan menjernihkan pikiran kita dalam membedakan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Kriteria tersebut adalah : al-Sabq (dahulu dan tidak ada yang mendahului; bebas ruang dan waktu), al-Ithlaq (mutlak), al-Dzatiyyah (Esa dzat-Nya; tidak ada yang mengajari-Nya), dan al-Sarmadiyyah (kekal). Keempat kategori tersebutlah yang membedakan antara Tuhan dengan selain-Nya.

Sifat al-Khaliq misalnya, bisa kita lekatkan pada diri Saidina Isa as. sebagaimana al-Qur'an meyebut "Inni akhluqu lakum min al-thin", hanya saja sifat khaliq yang melekat pada Saidina Isa tentu tidak memenuhi kategori di atas. Sebab penciptaan yang melekat pada diri Saidina Isa terbatas (muqayyad) dan tidak muthlaq, telah didahului (masbuq) tidak sabiq, tidak tunggal (dzatiy); bukan murni dari dirinya sendiri, tapi ada yang mengajarinya (muktasab). Dan tidak langgeng atau tidak memenuhi kategori sarmadiyyah.

Apabila keempat kategori tersebut dipahami secara tepat, niscaya kita pun terbebas dari kontaminasi bertauhid (awhal al-Tauhid); yang meliputi al-Hulul, al-Ittihad, al-Tasybih dan al-Ta'thil. Hulul berarti meyakini Tuhan bertempat pada makhluk-Nya. Ittihad berarti meyakini adanya kesatuan antara hamba dan Tuhan (Pantheisme). Tasybih berarti menyerupakan Allah dengan yang lain. Dan Ta'thil berarti menafikan fungsi asma’-Nya. Keempat hal tersebut acapkali menjadi jaring-jaring orientalis untuk menghalau dan membelokkan konsep cinta Ilahi versi para kekasih-Nya (Wali Allah). Seperti Syekh Ibnu Arabi ra. dan Syekh al-Hallaj ra. yang tersohor dengan Wihdatul-wujud, Wihdatul-adyan dan ungkapan Ana al-haq yang sebenarnya terbebas dari keempat awhal al-tauhid. Wihdatul-wujud bukanlah pantheisme, melainkan terma yang menyatakan bahwa nur Saidina Muhammad saw. adalah makhluk yang pertama kali diciptakan dan dari Nur tersebutlah semua makhluk diciptakan. Wihdatul-adyan bukan pluralisme agama; melainkan bertemunya agama-agama samawi dalam satu titik, yaitu ''Innaddina indaallahil-Islam". Pernyataan yang bukan mengklaim sebuah kebenaran, melainkan usaha untuk meyakini sebuah kebenaran, tanpa harus menafikan pihak lain. Justru yang menawarkan pluralisme agama seolah-olah menawarkan agama baru yang identik dengan konsep Robert N Bellah tentang Civil Religion. Sedangkan Ana al-haq dapat anda korelasikan dengan muqtadlayat al-uluhiyah sebagai standar tepat atau tidaknya pernyataan tersebut secara obyektif.

Memang, keyakinan seseorang terhadap Rasul, Nabi dan Wali terkadang tidak komprehensif. Artinya kita sering menganggap ketiganya sebagai Ghairullah (selain Allah), tapi tidak juga kebablasan menganggapnya sebagai Tuhan (Ainullah). Sebab hubungan Allah terhadap ketiganya adalah "Laisa ainuhu wa laisa ghairuhu"; mereka bukan Allah namun bukan pula selain Allah. Dengan kata lain ketiganya merupakan wakil-Nya. Sebagaimana wali nikah yang bukan pengantin putri dan bukan pula selainnya.

Dari sinilah pertikaian lama seputar kemakhlukan al-Qur'an, dan tidaknya terjawab. Sebab memang al-Qur'an adalah kalam Allah yang qadim (terbebas dari ruang dan waktu) dan qaul Rasul yang hadits yang berupa bahasa seorang manusia. Sebuah tawaran proporsional yang dapat dianalogikan dengan seorang presiden yang mengirim salam kepada hadirin pada sebuah pertemuan. Walaupun ia tidak datang, namun melalui menteri salam tersebut disampaikan. Ditinjau dari segi kalam, salam tersebut adalah kalam Presiden. Sedangkan ditinjau dari segi qaul, salam tersebut adalah qaul sang Menteri. Sebuah analogi yang mencoba mendekatkan esensi pernyataan tersebut.

Para Rasul, Nabi dan Wali adalah manusia shalih yang diberikan barakah oleh Allah swt. agar kita mau memungutnya. Syirik atau kufurkah meminta kepada mereka? Apabila anda tidak takut untuk menodong uang kepada orang tua, kenapa harus takut mengais barakah dari para Rasul, Nabi dan Wali. Bukankah Al-Khairu kulluhu biyadillah yadla'uhu haitsu yasya' wa alaina an nathlubahu wa na’khudzahu haitsu wadla'ahu? Apabila anda ingin madu, ambilah dari lebah..! Bukan sebuah paksaan atau instruksi yang arogan, melainkan anjuran dan pernyataan yang masih layak untuk dikritisi dan didiskusikan.

No comments: