Monday, February 12, 2007

REFLEKSI KERUWETAN FIKIH KLASIK

Konseptualisasi fikih yang telah mendarah daging dalam diri identitas khazanah keislaman, kini telah mengalami proses seleksi alam. Dengan lahirlnya problematika fikih yang kian kompleks, eksistensinya pun digugat kembali. Fikih sudah tidak masanya menjadi barang sakral yang harus terus dikultuskan dan ditakuti. Tapi, realita kontemporer menuntut kehadiran fiqih harus lebih simple, elastis dan tidak mengandung intimidasi. Artinya; penampakan fikih bukanlah benang ruwet dengan konsep yang bertele-tele, apalagi membelenggu atau bahkan menakuti para penggunanya. Tapi, kelahiran fiqih bernuansa kontemporer seharusnya selaras dengan nilai-nilai humanis, pluralis, esensilais, dan berbanding lurus dengan waktu tanpa harus kehilangan identitasnya.

Di sisi lain, Cita-cita suci Mazhab empat sebagai founding father disiplin ilmu fikih yang berdasar atas istinbath, bukan atas otak-atik rekayasa pemikiran dapat direaktualisasikan. Sebutlah lebah, mazhab empat adalah sosok yang mensarikan bunga yang berupa teks menjadi madu-madu yang manis. Artinya; mereka mengkonsep fikih dan mengkontekstualisasikan teks tanpa mengobrak-abrik substansi atau prinsip dasar keberfikihan. Walaupun konsep keberfikihan dalam pandangan sebagaian kalangan masih bersifat abu-abu atau yang lebih ekstrim harus hitam di atas putih, padahal sebenarnya konsep tersebut bersifat tidak baku di satu sisi, namu baku di sisi lain. Dengan kata lain, formulasi fikih yang bersifat vertikal merupakan rumusan nilai-nilai yang kekal, namun rumusan horizontal merupakan norma-norma yang bersifat variable dan selalu berubah atau lebih akrab dengan istilah mutaghayyirat.

Sinkronisasi antara cita-cita fikih ala mazhab empat dan realita reformulasi fikih kontemporer selayaknya perlu mendapat perhatian lebih . Sebab, jika fikih tidak lagi akrab terhadap tantangan, niscaya dia kan segera dikucillkan atau bahkan tergilas oleh seleksi alam. Memang, fiqih hanya sebatas sarana, namun ketika dia terlalu over acting atau lenyap begitu saja, niscaya kita pun malah kelabakan memproduksi sarana baru untuk menentukan sebuah produk-produk hukum islam.

Tak heran, bila kemudian muncul gagasan fikih lintas agama. Dalam pandangan penulis gagasan tersebut tak jauh dari fenomena di atas. Satu sisi, para penggagas tersebut tidak lagi membutuhkan fiqih. Namun di sisi lain mereka masih memerlukannya sebagai batu loncatan menuju sebuah cita-cita; kedamaian di muka bumi ( rahmatan lil alamin). Walaupun terlihat naif, jika fikih harus dipaksa untuk melompati garis-garis demarkasi agama. Atau bila gagasan tersebut masih berada dalam kubangan rambu-rambu agama dan hanya berorientasi untuk mendamaikan antar agama berarti gagasan tersebut tak ubahnya dengan fikh klasik yang telah menyejarah, namun kian mengalami penyempitan dan stagnasi. Karena ide passing over alias melintasi batas agama merupakan sebuah gagasan yang positif di satu sisi; karena dapat memperbaharui image sebuah agama melalui sentuhan esensi atau hakekatnya. Namun juga memiliki akibat negatif yaitu merapuhkan bangunan sebuah agama dan mengaburkan identitasnya. Oleh sebab itu, bila memang fikih lintas agama merupakan sebuah solusi atas kemandegan fikih; berarti konsepnya pun harus matang dan tidak hanya mengulang-ulang problematika lama yang tentunya malah mengusik ketentraman para pengguna fikih. Atau bila usaha tersebut merupakan gerakan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi bangunan fikih sekalipun, maka kematangannya pun harus ditekankan. Sebab bila gagasan tersebut hanya merupakan euforia sesaat, dikhawatirkan akan melahirkan problematika baru yang akan membingungkan umat beragama dan menghilangkan eksistensi ciri khas fiqih yang notabene hanya dimiliki oleh umat islam.

Fikih lintas agama, sebuah kalimat yang menarik dan menggebrak nurani sebagian kalangan, namun sosialisasi dan kejujuran ilmiyahnya harus memberikan spirit baru bagi progresifitas fikih. Sehingga tidak terkesan apologi saja terhadap kegagapan para fuqaha' masa skolastik yang semakin menjebak fikih dalam furu' ul furu'.

Nuansa kontemporer dalam gagasan tersebut harus ditampilkan dengan nilai-nilai baru yang diperkaya dengan problematika tempo dulu. Sebagai misal; status perbudakan dan non muslim. Menjunjung tinggi hak asasi manusia merupakan titik tolak utama yang harus dimulai. Dari sebuah kehidupan lah fikih baru dimulai. Kini, sudah waktunya pembukaan cakrawala baru; fikih yang berorientasi hanya bagi kemaslahatan umat islam saja perlu dibuka dan ditelanjangi. Sehingga status fikih berada dalam posisi obyektif. Nah, dari sini setiap kehidupan adalah sebuah maslahat utama yang harus terus dipertahankan. Wa man qatalannas fa ka annama qatalannassa jami'a. Jargon ayat al-Qur'an tersebut harus mendarah daging terlebih dahulu dalam jiwa fikih lintas agama. Sehingga persamaan status tersebut tidak lagi menempatkan orang lain berada dalam posisi yang lebih rendah menjadi hina dina. Tapi, Justru semangat fikih baru malah mengangkat harkat dan martabat manusia. Karena kemaslahatan manusia adalah obyek pertama yang juga digulirkan oleh al-syatibi tatkala menggagas konsep pembaharuannya melalui maqasid al-Syari'ah. Intisari Maqasid al-Syari'ah yang teringkas dalam Kuliyat al-khams; yang meliputi perlindungan terhadap jiwa, agama, rasio, keturunan, dan harta merupakan pondasi pengembangan (tabsith) dan penyusutan (taqbidh) konsep pembaharuan fiqih. Dengan mengacu pada kelima norma tersebut posisi fikih tidak lagi membebani para kontributor fikih untuk bergerak bebas. Berbeda dengan realita selama ini yang memojokkan dan mempersempit gerak-gerik fikih, sehingga para kontributornya pun ikut merasa termaginalkan oleh kesantunan Fikih. Tak heran, bila rigid konservatisme—meminjam istilah Gothe—sekaliber fikih harus berada dalam posisi dilematis. Dibuang takut kualat, tidak dibuang malah menyusahkan. Posisi seperti inilah yang sebenarnya harus dirubah seratus delapun puluh derajat. Dari membela Tuhan menuju membela manusia. Sebab Tuhan dan agama tidak perlu dibela, justru manusia lah yang harus dimanusiakan. Seorang Faqih dan sufi besar Syaikh Abdul Qadir al-jailani menyatakan; kutegakkan kebenaran dengan kebenaran demi misi kebenaran. Jadi, dikala kebenaran yang berada di tangan manusia semakin abu-abu dan tidak jelas keberadaannya, maka pada era globalisasi ini perlu kita jlentrehkan sebuah kebenaran seraya melawan sebuah klaim kebenaran. Sehingga fikih-fikih tempo dulu yang dibuat acuan para mufti untuk berfatwa pada masa sekarang ini tidak harus kita terima mentah-mentah, tapi harus kita sterilkan kembali dengan fikih gaya baru yang semakin simple, instan, mudah dan tidak membingungkan. Permasalahannya, siapakah yang mampu menjadi wujud Reinkarnasi keilmuan Rasulullah atau para pioner fikih tempo dulu?. Sehingga Ide-ide pembaharuan tersebut tidak semakin melambung di langit dan menimbulkan problematika baru, tapi justru makin memudahkan segala urusan. Innama Yuridullahu bikumul Yusra wala Yuridu bikumul Usra.

No comments: